RSS

Musik Pop Indonesia

Kita akui bahwa saat ini musik pop Indonesia menunjukkan kemajuan begitu pesat dan menggembirakan. Dalam satu dekade terakhir ini saja kita dapat menyebut begitu banyak (terutama grup band) namanya mengorbit di deretan papan atas blantika musik pop Indonesia, seperti Ungu, Samsons, Radja, J Rock, Peterpan, The Titans, Nidji, Letto, Alexa, The Rock, D'Masisve, ST12, Matta, Wali, The Changcuters, Kangen Band. Selain nama-nama dari grup musik era 1990-an, seperti Slank, Dewa 19, GIGI Band, Jamrud, Pas Band, Naff, Naif, Padi, Ada Band, atau Sheila On 7.


Dari catatan nama-nama grup musik era 1990-an yang pernah bertengger di papan atas kini tidak semuanya mampu bertahan lama di puncak kepopularitasannya. Malahan banyak diantaranya yang kini pamornya sudah meredup, meski masih berupaya untuk tetap eksis. Sebut saja contohnya; Jamrud, Shela On 7 atau Padi. Awal tahun 2000-an, merupakan masa keemasan mereka, baik dari segi penjualan album maupun panggung pertunjukkan. Ternyata kesuksesan yang mereka raih tidak bertahan lama, hanya bertahan dalam sekali putaran, karena energinya sudah terkuras diperas hingga tak berdaya lagi mempertahanan pamornya sebagai best seller.

Fenomena semacam ini merupakan hukum bisnis yang berlaku dalam industri budaya popular. Sebagaimana diungkapkan Theodor W. Adorno, begitu sebuah grup musik mampu membuahkan produk komersial berlimpah alias penghasil best seller, ia akan diperas sampai loyo kehabisan daya komersialnya. Itulah pola bisnis yang diberlakuan secara mekanistik dalam industri musik budaya popular.

Adapun penghargaan terhadap artis tak lebih sebagai komoditas selayaknya terjadi pada ternak sapi perahan. Pada akhirnya, satu-satunya pihak yang diuntungkan tak lain produsen. Di sini artis tak lebih dari sekadar instrumen yang menjadi objek perahan industri kapitalisme. Tinggal sampai batas mana sang artis mampu bertahan menghasilkan produk komersial. Kalau tidak ya selamat tinggal!

Begitupun dengan beragam penghargaan berupa platinum yang diberikan produser perusahaan rekaman kepada sang artis intinya lebih karena pertimbangan nilai komersial bukan yang lain. Tak terkecuali dengan pemberian Awards yang dilakukan program tayangan televisi atau intitusi atas nama musik, seperti Anugerah Musik Indonesia (AMI) atausejenisnya, inti penilaiannya semata-mata atas dasar komersial semata, ketimbang pertimbangan merujuk estetika musik (kecuali BASF Awards). Sehingga ajang pemberian penghargaan yang ada kini tak ubahnya semacam arisan lagu paling komersial laku di pasaran, tahun ini giliran jatuh pada siapa pemenangnya untuk mendapat awards. Sementara pertimbangan estetika musik itu sendiri tetap saja dikesampingkan.

Dalam perkembangannya, musik pop itu sendiri tak ubahnya sebuah arena pergumulan bagaimana menghasilkan trend musik yang laku di pasaran. Banyaknya ragam selera musik yang ditawarkan otomatis membuat begitu ketatnya persaingan dalam industri musik pop Indonesia saat ini. Tak heran bila kemudian mereka berlomba bagaimana menciptakan trend musik sampai cara menyiasati membuat hits yang bisa merebut selera pasar. Kecenderungan cepatnya berganti selera ini menjadikan musik pop tak ubahnya seperti permen karet hanya enak dikunyah bersifat sesaat, lalu dilepeh.

Kecenderungan ini pula yang menurut Adorno, khalayak telah terjebak dalam fetisisme berupa pemujaan semu. Bukan hanya selera musik saja yang dibakukan, lirik lagu juga mengalami standarisasi yang hanya berkutat pada tematisasi sejenis. Sehingga khalayak tidak punya pilihan sebagai alternatif karena semua sudah dikondisikan, diarahkan dan distandarisasi dalam rangka kepentingan industri.

Tuan Rumah di Negeri Sendiri?

Dari penggambaran tersebut, adakah hal ini menunjukkan bahwa inikah wajah musik pop Indonesia sebagaimana disinyalir bahwa musik pop Indonesia sudah menjadi tuan rumah di negeri sendiri?

Apakah hanya dengan sinyalemen yang yang antara lain didasarkan indikasi persentase angka penjualan kaset Indonesia dan Barat berbanding 80:20. Atau hanya didasarkan hitungan larisnya sebuah album terjual mencapai ratusan ribu sampai di atas jutaan copies, disertai gencarnya konser musik berkat dukungan sponsor yang menyuarakan produk merek dagang. Atau dari maraknya tayangan acara musik di TV; penggunaan ring back tone yang mampu mengeruk miliaran rupiah? Adakah dari sinyalemen tersebut sudah mencerminkan wajah atau citra musik pop Indonesia sesungguhnya yang kemudian dijadikan indikasi musik pop Indonesia sudah menjadi tuan rumah di negeri sendiri? Sementara dalam hal ini kita tidak boleh mengabaikan keberadaan peran musik itu sendiri dalam perspektif kebudayaan.

Karena bagaimanapun juga sebuah karya musik tidak lepas dari cerminan nilai kultural suatu masyarakat. Selain pertimbangan kultural, sebagai karya seni sudah sepatutnya pula kita menempatkan musik sebagai bagian proses kebudayaan yang menjadi bagian dari jati diri budaya bangsa. Sementara kalau kita perhatikan bahwa saat ini determinasi bangunan musik pop Indonesia telah mengalami reduksiasi sedemikian rupa menjadi subkultur dari trend desain global budaya popular (popular culture). Lalu, apakah determinasi bangunan musik popular yang ada saat ini sudah merepresentasikan citra musik pop Indonesia sesungguhnya?

Menurut amatan musikolog Suka Hardjana, bahwa perkembangan musik modern (pop) Indonesia belum menunjukkan atau menjadi bagian dari strategi pembinaan budaya bangsa (dibandingkan dengan pembinaan olahraga misalnya). Di mana kehadiran musik saat ini masih sebatas hanya menjadi bagian dari dinamika masyarakat pendukungnya yang arahnya belum jelas dan sangat tergantung dari pengaruh kekuatan pasar selera musik yang sedang in untuk ditawarkan.

Oleh karena itu, tidak mengherankan bila perkembangan musik pop di Indonesia masih bersifat sangat fragmental. Hal ini tidak akan pernah berubah, selama musik pop Indonesia belum menemukan jati dirinya dan masih saja menjadi bayang-bayang pengaruh kekuatan budaya lain yang masih saja selalu dianggap lebih unggul.

Fenomena ini menjadi semacam indikasi menguatnya pengaruh peran budaya popular dalam kehidupan kesenian, di mana wujud dari suatu karya seni sudah tidak berorientasi pada pemenuhan rasa estetika. Eksplorasi yang berlebihan terhadap karya seni menjadikan industri dan bisnis musik di Indonesia telah merubah seluruh peta permasalahan musik di negeri ini. Saat ini selera dan pandangan masyarakat terhadap musik pun sudah terjungkil-balik. Justru yang terjadi di Indonesia dewasa ini, musik semakin cenderung menjadi masalah bisnis daripada masalah budaya atau kesenian.

Indikasi lain yang menarik dari perkembangan musik pop Indonesia dewasa ini tidak hanya terbatas pada masalah-masalah tentang jenis, gaya, isme, mutu, selera dan lain-lain, akan tetapi juga menyangkut masalah-masalah yang jauh lebih penting dari itu. Misalnya tentang gejala perubahan estetika musik, baik secara evolusif maupun secara revolusioner, yang menyangkut dan berpengaruh pada perubahan persepsi, sikap, maupun selera masyarakat luas, sebagai akibat daripada perubahan tata nilai dan sikap dengar yang sangat dipengaruhi dan dikuasai oleh kemajuan teknologi dan peradaban dunia modern, yang kemudian dikenal dengan budaya popular.

Kini di bawah kendali ideologi industri kapitalisme, musik sebagai karya seni mulai kehilangan greget dan daya kritisnya. Seniman tak lebih menjadi komoditas seni untuk memenuhi standar nilai produk yang ditentukan oleh sang kapitalis. Seniman sudah tidak punya nilai tawar, semuanya ditentukan oleh kehendak mekanisme pasar. Industri musik mendikte pola musik yang dihasilkan. Sementara khalayak secara pasif mengkonsumsi apa yang ditawarkan industri musik. Tanpa sadar masyarakat menjadi korban budaya komoditas kapitalisme yang secara ideologis dirancang dalam formula musik budaya popular.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar